Pensucian Jiwa Dan Tazkiyah Nafs *Dari mana kita memulainya???*


Tazkiyah artinya mensucikan jiwa dan diri dari pelbagai noda dan kotoran. Dalam al-Qur’an disebutkan beberapa ayat-ayat yang menyoroti ihwal signifikannya pensucian jiwa. Hanya saja harus dipahami bahwa titik mula (starting point) dalam proses pensucian jiwa dan pembangunan jiwa, masing-masing berbeda pada setiap orang.

Bagi orang-orang yang tidak (belum) memeluk Islam, jalan pertama dan titik mulanya adalah dengan memeluk Islam. Bagi orang-orang beriman, tingkatan pertama adalah tanabbuh (perhatian) dan menyadari sepenuhnya bahwa nafs (jiwa) itu harus disucikan.

Adapun memikirkan masalah-masalah seperti; mengapa ada penciptaan dan pengadaan semesta, apa yang menjadi tujuan penciptaan dan sebab pengutusan para nabi dan seterusnnya akan menambah stressing dan tekanan pada perhatian (tanabbuh) dan pengetahuan dasar ini.

Tingkatan kedua adalah tingkatan taubat dari pelbagai perbuatan yang dikerjakan pada masa lalu dan tekad untuk menebus pelbagai kesalahan tersebut. Menebus dan memenuhi hak-hak orang yang pernah dilanggar haknya dan memenuhi hak-hak Tuhan yang masih tersisa dalam diri kita. th

Tingkatan lainnya adalah usaha untuk mengerjakan segala kewajiban dan meninggalkan segala yang haram seukuran pengetahuan yang dimiliki tentang halal dan haram. Kemudian konsisten dan berketerusan mengayunkan langkah di jalan ini yang akan menyebabkan Allah Swt menganugerahkan pelbagai pengetahuan kepada kita dan dengan perantara jalan ini kita akan menuai kemajuan dalam proses sair dan suluk kepada Allah Swt.

Di samping itu, Allah Swt juga memberikan berita gembira dalam sebagian ayat-ayat al-Qur’an berupa bantuan dan sokongan bagi para hamba yang berjihad di jalan ini.

Masalah pembangunan atau pensucian jiwa dalam al-Qur’an disebut sebagai tazkiyah atau tazakka. Adapun makna leksikal tazkiyah adalah mensucikan diri dari segala sesuatu yang kotor.[1] Pada kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an ditegaskan signifikansinya pensucian jiwa, misalnya pada surah al-Syams kita membaca, “Sungguh beruntunglah orang yang telah menyucikannya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.”[2] (Qs. Al-Syams [91]:9-10) Demikian juga pada ayat 18 surah Fatir (35) [3] dan ayat 14 dan 15 surah A’la (87)[4] menegaskan hal yang sama dengan masalah ini.

Dengan demikian, membangun dan mensucikan jiwa merupakan sebuah perkara yang diterima dan terpuji dalam pandangan syariat. Akan tetapi harus dikatakan bahwa titik mula pembangunan jiwa dan pensucian jiwa berbeda bagi setiap orang. Untuk non-Muslim tingkatan pertama adalah memeluk Islam. Ulama akhlak dalam mengklasifikasi tingkatan ini, berkata bahwa titik-mula adalah Islam kemudian iman dan pada tingkatan berikutnya adalah hijrah dan setelah itu berjihad di jalan Allah (jihad fii sabilillah).”[5]

Akan tetapi terkait orang-orang yang telah memeluk Islam, beriman dan menjadi obyek ayat-ayat al-Qur’an seperti pada ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu.”[6] (Qs. Al-Maidah [5]:105) dan “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman.”[7] (Qs. Al-Nisa [4]:136) harus dikatakan bahwa tingkatan-tingkatan perdana pensucian jiwa bagi mereka adalah tanabbuh dan keterjagaan. Ia sepenuhnya sadar bahwa ia harus memulai dan membersihkan dirinya dari segala noda dan kotoran.

Setelah tingkatan tanabbuh dan kesadaran ini, sebuah pertanyaan kemudian mengemuka bahwa darimana harus memulai proses pembangunan jiwa? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa orang yang mengajukan pertanyaan ini telah melalui tingkatan pertama; lantaran ia telah mencapai pada sebuah kesimpulan dengan pikiran dan inteleksi bahwa “alam dunia ini bukan tempat hunian abadi dan segala sesuatunya serta pengutusan para nabi bukan untuk kehidupan dunawi.”[8]

Setelah melintasi tingkatan ini (tafakkur dan tanabbuh) kemudian tiba giliran tingkatan “taubat”; artinya menebus segala sesuatu yang telah berlalu. Menebus dan memenuhi hak-hak orang yang telah dilanggar. Serta menebus dan memenuhi hak-hak Tuhan yang belum tertunaikan atau yang ditinggalkan.

Akan tetapi tingkatan taubat ini disertai dengan tekad. Bertaubat dari apa yang telah kita lakukan dan bertekad untuk mencapai apa yang ingin kita capai. Atas dasar ini, sebagian ulama akhlak menetapkan tingkatan taubat sebagai stasiun kedua[9] dan sebagian lainnya memandang tekad (‘azam) sebagai tingkatan berikutnya setelah tingkatan tanabbuh.[10]

Imam Khomeini Ra, terkait dengan ‘azam yang selaras dengan tingkatan ini, berkata, “Bertekad untuk menjauhi maksiat dan mengerjakan segala kewajiban serta menebus segala yang telah ditinggalkan (segala yang telah lewat) dan bertekad untuk menjadikan segala yang lahir dan bentuknya sejalan dengan manusia berakal dan seiring dengan syariat.”[11]

Dalam doa hari Mab’ats disebutkan: “Aku meyakini bahwa sebaik-baik bekal bagi orang yang ingin menuju-Mu adalah kemauan kuat (tekad) yang dengannya ia memilih-Mu.”[12]

Tingkatan selanjutnya adalah menjauhi maksiat dan mengerjakan segala kewajiban.

Hadhrat Ayatullah Bahjat dalam menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya: Apa yang harus saya lakukan tatkala saya telah memutuskan untuk meniti jalan sair dan suluk? Beliau berkata: “Meninggalkan maksiat sepanjang hidup telah memadai meski hidup seribu tahun.”[13] Karena itu dalam tingkatan ini seluruh kewajiban Ilahi harus ditunaikan berdasarkan ilmu yang kita miliki.

Meninggalkan segala yang haram juga berdasarkan kadar pengetahuan yang kita miliki tentang hal-hal yang haram. Masalah ini akan menjadi penyebab Tuhan menganugerahkan pelbagai macam pengetahuan kepada kita. Sehingga dengan perantara jalan ini, kita dapat meraup kemajuan dalam mengayunkan langkah di jalan sair dan suluk Ilahi.

Kita harus mengamalkan apapun yang kita ketahui dan Allah Swt akan menganugerahkan segala yang tidak kita ketahui. Sepanjang kita mengamalkan segala tugas kita, rotasi dan sirkulasi penganugerahan ilmu ini akan senantiasa berlanjut. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang melakukan apa yang ia ketahui maka Allah Swt akan memahamkan segala yang ia tidak ketahui.”[14]

Riwayat ini sejalan dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.”[15] (Qs. Al-Ankabut [29]:69) Di samping itu, harus diketahui bahwa manusia selama hidupnya, selama hayat dikandung badan ia senantiasa bergerak dan tidak pernah diam; apakah ia bergerak menyongsong cahaya (petunjuk) atau ia berjalan menuju kegelapan (kesesatan). Dan yang sentral dalam gerakan ini adalah gerakan menuju cahaya.

Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini, Anda dapat merujuk kitab Risâlah Lubb al-Lubab, Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, jil. 1 hal. 87. Akhir kata kami memandang perlu menyebutkan bahwa jawaban yang diberikan di sini adalah jawaban yang bersifat umum. Sekiranya Anda ingin jawaban yang lebih jeluk dan dalam, dengan menyebutkan tingkat pendidikan Anda, kami persilahkan Anda untuk kembali menulis surat ke meja redaksi. Terima kasih.

Catatan Kaki:

[1]. Tazkiyah al-Tathir min al-Akhlâq al-Dzamimah, Majma’ al-Bahraîn, jil. 1, hal. 203.

[2]. “Qad aflaha man zakkaha wa qad khaba man dassaha.”

[3]. “Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri ntuk kebaikan dirinya sendiri.”

[4]. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri. Dan dia ingat nama Tuhan-nya, lalu dia salat ”

[5]. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Risalah Lubb al-Lubab, hal. 55.

[6]. Yâ Ayyuhalladzina amanû ‘alaikum anfusakum.

[7]. Yâ Ayyuhalladzina amanû A^minû.”

[8]. Imam Khomeini, Cihil Hadits (40 Hadis), hal. 76. .

[9]. Mirza Jawad Malik Tabrizi, Risâlah Liqâ’a Allah, hal. 52.

[10]. Imam Khomeini, Cihil Hadits, hal. 7.

[11]. Ibid.

[12]. “Wa laqad ‘alimtu anna afdhal zâdi al-râhil ilaika ‘azmun irâdatin yakhtaruka bihâ.” Mafâtih al-Jinân, Doa Hari Mab’ats. Al-Iqbâl bil A’mal al-Hasanah, hal. 277.

[13]. Be suye Mahbûb, Dastur al-‘Amalha wa Rahnemâ-haye Hadhrat Ayatullâh Bahjat, hal. 58

[14]. “Man ‘amala bimâ ‘alima warratsahuLlâh ilmâ ma la ya’lam.” Al-Mahajjat al-Baidhâ, jil. 6, hal. 24. Bihâr al-Anwâr, jil. 89, hal. 172. Al-Kharâij, jil. 3, hal. 1058.

[15]. ” Alladzina jahadu finâ lanahdiyanahum subûlanâ.”

Tinggalkan komentar